
Informasi Traveling Anda
Bagi umat Hindu di Bali, Hari Raya Galungan bukan sekadar perayaan rutin, melainkan momen sakral penuh makna spiritual.
Ini adalah momen kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (keburukan), yang sarat dengan nilai filosofis, sejarah panjang, dan rangkaian ritual yang memesona. Mari kita telusuri lebih dalam asal-usul, makna, serta tradisi unik yang menyertainya!
Asal-Usul Galungan: Kemenangan Dharma yang Dirayakan Sejak Abad ke-11
Asal-usulnya merujuk pada kisah Mayadenawa, raja sombong yang menentang keberadaan para dewa, hingga akhirnya dikalahkan oleh kekuatan dharma.
Dalam pertempuran besar, Dewa Indra akhirnya mengalahkannya, menandakan kemenangan kebenaran atas kesombongan.
Tercatat dalam lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada tahun 1103 Masehi. Meski sempat terhenti, perayaan ini dihidupkan kembali oleh Dang Hyang Nirartha pada abad ke-17.
Makna Filosofis: Lebih dari Sekadar "Hari Kemenangan"
Galungan bukan hanya tentang upacara, melainkan juga refleksi spiritual. Umat Hindu meyakini bahwa pada hari ini, para dewa dan leluhur turun ke bumi untuk memberkati mereka. Penjor, bambu hias yang melengkung indah di pinggir jalan, menjadi simbol gunung suci serta ungkapan terima kasih atas anugerah alam.
Rangkaian Galungan: 10 Hari Penuh Makna
Sugihan Jawa & Sugihan Bali (6 hari sebelum Galungan) – Penyucian diri dan lingkungan.
Penyekeban – Proses pematangan pisang sebagai simbol pengendalian nafsu.
Penyajaan – Pembuatan jaja (kue tradisional) sebagai wujud ketekunan.
Penampahan – Penyembelihan hewan kurban (biasanya babi) sebagai simbol pengorbanan.
Hari Galungan – Puncak perayaan dengan persembahyangan dan silaturahmi.
Manis Galungan – Hari bersenang-senang dan mengunjungi sanak saudara.
Pemaridan Guru – Penghormatan kepada guru spiritual.
Hari Kuningan (10 hari setelah Galungan) – Momen para dewa kembali ke kahyangan.
Tradisi Unik yang Masih Bertahan
Tradisi kuliner seperti membuat lawar—campuran daging dan sayur khas Bali—masih dijaga dan dibagikan kepada tetangga sebagai lambang kebersamaan.
Ngaturang Canang: Persembahan bunga dan dupa di setiap pelinggih (tempat suci).
Megibung: Makan bersama dalam satu wadah sebagai simbol kebersamaan.
Galungan di Era Modern: Tetap Sakral meski Dunia Berubah
Meski gaya hidup modern mulai memengaruhi Bali, esensi Galungan tak pernah luntur. Anak-anak tetap diajarkan membuat penjor dan banten, sementara media sosial ramai dengan ucapan Galungan dan foto-foto semarak perayaan.
Penutup: Galungan sebagai Warisan Budaya yang Abadi
Galungan adalah bukti bahwa tradisi bisa tetap relevan di tengah zaman. Ia bukan hanya milik umat Hindu Bali, melainkan kekayaan budaya Indonesia yang patut dilestarikan. Jadi, jika Anda berkunjung ke Bali saat Galungan, saksikanlah sendiri keindahan spiritual dan kegembiraan yang menyelimuti Pulau Dewata!